Juli 24, 2014

Jangan menyakiti, biar gak disakiti.

Dalam situasi yang paling kalut, setiap orang akan mempertanyakan tentang seseorang lainnya. Apakah pernah orang lain merasakan apa yang kita rasakan saat ini? Apakah orang lain pernah mengalami masalah yang kita alami saat ini? Lalu apa yang mereka lakukan? Lalu bagaimana langkah yang mereka ambil?
 Dan ketika semua pertanyaan tersebut tidak terjawab dengan baik, pastilah bagian diri paling picik dari kita akan menjawab dan menggantinya dengan kalimat "tidak ada orang yang bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi aku"

Bodoh?
Mungkin.
Tapi begitulah manusia. Menjadi orang paling tertindas sedunia ketika mereka tidak mendapatkan empati yang nyata. Sebesar apapun simpati dari orang yang sedang "bermasalah" dengan diri mereka tidak akan ada gunanya. Setiap orang akan merasa menjadi orang yang paling disakiti ketika selfesteem mereka menolak untuk cerdas memahami masalah mereka dari sudut pandang orang lain. Padahal belum tentu di setiap masalah yang memposisikan kita menjadi "korban" benar-benar menjadikan kita korban.
Be wise.
Kembali ke pertanyaan paling dasar, "apakah setiap orang memiliki masalah dengan orang lain?"  Ya, tentu. "Kenapa mereka saling menyakiti?" Simple. Disetiap kehidupan, manusia harus memiliki tujuan dalam hidupnya. Mereka punya cara sendiri untuk mencapai setiap tujuannya. Dan masalah akan terjadi ketika kepentingan dan cara mereka saling bertabrakan. Sekalipun kita menemukan orang yan benar-benar memiliki pemikiran, kepribadian atau kesamaan tujuan dengan kita, yakinlah, suatu saat orang itu juga akan bermasalah dengan kita.


Yang menjadikan orang lain berbeda adalah bagaimana ia menghadapi masalah. Kita bisa saja menjadi lebay dan mendramatisir ketika menghadapi persoalan. Tetapi kita juga bisa menerima pilihan menjadi orang yang sabar dan santai saja menghadapi masalah. Seberat apapun itu. Kita bisa menjadi bawang putih paling menyedihkan sejagad raya, atau menjadi Govinda yang selalu bisa mendapatkan sisi baik dari semua masalahnya. Yap.. dan saya adalah orang yang setuju dengan Alm. Gus Dur yang dengan legowo selalu bilang "Ya santai aja.. wong adanya begitu, dijalani saja".


Hurt people hurt people. That's how pain patterns gets passed on, generation after generation after generation. Break the chain today. Meet anger with sympathy, contempt with compassion, cruelty with kindness. Greet grimaces with smiles. Forgive and forget about finding fault. Love is the weapon of the future.
~ Yehuda Berg

Begitulah polanya. Setiap orang yang pernah sakit hati, akan menyakiti orang lain. Sengaja maupun tidak. Kemarahan yang tertandingi dengan kemarahan akan menyebabkan situasi semakin rumit.
Yang harus kita hentikan adalah pola hurt people hurt people. Saya sebenarnya juga kurang memahami ini, sok-sok tau aja sih, cuman semua logika yang berjalan menjadi beralasan. Tanam Tuai. Menanam menuai. Kecurian dan kehilangan.
Cerdas menghadapi kemarahan sendiri dan bijak menghadapi kemarahan orang lain.
Ketika seseorang marah, ia kehilangan kontrol dari segala panca indera dan logika. Keras.
Maka sebisa mungkin kita melunakkan apa yang keras. Yaa kaaan???
Diam dan meminta maaf adalah jalan keluar yang aman selain pura-pura mati seperti Raditya Dika bilang.

Beberapa malam yang lalu saya berhasil mendiskusikan tema ini dengan baik bersama pacar saya (read: partner LDR). Via telfon tentunya. Untung saja kami tidak bertemu secara langsung untuk membahas hal ini. Andai saja hal itu terjadi, mungkin akan ditemui beberapa bekas tanda cinta pada beberapa bagian tubuh (read: lebam sana-sini karena cubitan).  Diskusi kecil kami berubah menjadi ajang curhat dan tempat negosiasi hubungan untuk kami secara pribadi. Hal yang pernah dia katakan -dan berhasil saya kutip-, -kalo tidak salah ingat- adalah "apapun perasaan kecewa, marah atau sedih yang kita rasakan, kita terima dari ulah pasangan kita harus kita nikmati. Obatnya hanya satu, TIDUR. Setelah bangun, baru semua bisa terasa sangat simple. Dan diskusinya pun tidak akan serumit sebelum kita tidur."
Tidur?? konyol memang, but it's work.
Maka setiap salah satu dari kami ada yang memutuskan telefon pada menit ketiga-puluh, bisa dipastikan salah satu dari kami harus menghindar. Dan yang lainnya punya kesempatan untuk berpikir, introspeksi atas kesalahan yang mungkin tidak disadari, merenung, kemudian mencari alasan dan menyusun kata maaf untuk disampaikan esok harinya.
Voila! Ini yang menjaga kami tidak berseteru lebih dari sehari. Dan kami masih dalam keadaan yang baik-baik saja hingga saat ini.

Sepertinya topik ini menjadi kemana-mana. Oke, kita balik ke inti pembahasan.
Sebagai pengannut paham humanistik, saya setuju dengan kata-kata bijak di bawah ini.

“Nobody can hurt me without my permission.”

Apapun yang kita rasakan dan apa yang kita lakukan, semua tergantung pada diri kita sendiri.
Bahkan ketika situasi yang terjadi memang diluar kuasa kita, tapi bagaimana kita menghadapinya itu masih dalam kontrol kita. Jika ada orang yang menyakiti kita dengan kata-katanya, kita bisa menutup telinga, jika ada yang menyakiti lewat perbuatannya kita bisa menghindarinya, jika ada yang menunjukkan kebenciannya, kita bisa menutup mata. Bandel aja. Asal semua yang kita lakukan memang menjadi langkah yang terbaik. Bandel tapi jangan apatis. Menghindar, tapi tetap empati dan bersimpati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mari berbicara..